BerAksi beda dengan BerEaksi

Dua pria  berjalan berdampingan di sebuah terminal bus. Salah satu dari mereka berjalan ke arah lapak penjual koran dan majalah. Ia berhenti membeli sebuah harian sore dengan sopan mengucapkan terimakasih kepada penjual. Si penjual koran cuek, duduk sambil meneruskan mengipasi badannya dengan selembar koran bekas.
Temannya berkomentar, “Penjual korannya nggak sopan ya?” Pria yang membeli koran menyahut, “Memang begitulah dia setiap harinya”. “Terus kenapa kamu selalu berlaku sopan sama dia?” “Memangnya kenapa?” jawabnya,  ”ngapaian aku membiarkan orang itu menentukan bagaimana seharusnya aku bertindak?”

Aksi vs Reaksi

Kalau kita merenungkan, memang benar bahwa “mengapa kita membiarkan orang lain menentukan bagaimana seharusnya kita bertindak/beraksi”. Sesungguhnya yang penting adalah ‘tindakan atau aksi’. Pria pembeli koran di atas ‘beraksi’ pada orang lain , di mana seringkali kita justru ‘bereaksi’ terhadap mereka. Pria ini memiliki keseimbangan mental dalam dirinya,  di mana umumnya kita tidak memilikinya. Ia kenal persis siapa dirinya, untuk apa ia bersikap serta bagaimana ia akan berperilaku. Ia berprinsip bahwa tidak perlu membalas ketidaksopanan dengan ketidaksopanan, kemarahan dengan kemarahan karena dengan itu ia tidak lagi mampu mengendalikan perilaku dan sikapnya.
Hal yang paling membuat sengsara adalah bereaksi terus menerus terhadap perilaku orang.  Sehingga suasana hatinya selalu berubah – ubah sesuai dengan suasana sosial di sekelilingnya dan seolah-olah  ia hanyalah sebuah entitas yang berada di bawah kendali faktor-faktor tersebut.
Pujian, sanjungan dan diangkat-angkat membuatnya merasa di awang-awang dan bahagia bukan main, di mana hal ini sesungguhnya keliru, karena tidak berakar dari dalam dirinya sendiri. Pada sisi lain, saran serta kritikan membuatnya merasa stres lebih dari semestinya, karena hal ini menyakinkan anggapan lemahnya yang ditutup-tutupi tentang dirinya. Hardikan atau bentakan seringkali membuat dirinya sakit hati dan tuduhan kecil yang tidak disukainya dalam konteks tertentu membuatnya merasa tambah pedih.

Di sinilah letak masalahnya

Keseimbangan serta ketenangan jiwa sesungguhnya tidak akan bisa di capai sampai seseorang menguasai aksi-aksi dan sikap sendiri. Membiarkan orang lain menentukan apakah kita akan bersikap kasar atau pemaaf, senang atau tertekan adalah menyerahkan kendali atas kepribadian kita sendiri, yang sepenuhnya adalah hak kita. Satu-satunya pengendalian sebenarnya adalah pengendalian diri.
Jadi, mulai sekarang kalau ada seorang berlaku kasar terhadap Anda: Apakah Anda akan bersikap marah terhadap orang tersebut atau menganggapnya hanya sebuah latihan kesabaran? Kalau seseorang menghina pengetahuan Anda yang dangkal: Apakah Anda akan mengambil sikap membenci orang tersebut atau justru berterima kasih serta mengasah diri agar lain waktu tidak dihina lagi?
Di sinilah letak masalahnya namun di sini pulalah letak solusinya. Anda setuju?

No comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar, terimakasih.