Budaya Membaca

Taufiq Ismail, penyair dan tokoh sastra Indonesia menuturkan salah satu keprihatinannya terhadap negeri Indonesia yakni terkait budaya membaca. Budaya membaca dari penduduk Indonesia masih begitu miris dan teriris. Terkait dengan pelajaran sastra, Taufiq Ismail yang melakukan studi komparasi mengenai banyaknya bacaan yang lunas dibaca oleh para pelajar di berbagai belahan dunia, mencapai satu konklusi bahwa budaya membaca pelajar Indonesia ialah generasi 0 buku. Hal ini mengindikasikan betapa rendahnya tingkat keterbacaan dari penduduk negeri ini.

Menurut Badan Pusat Stastistik (BPS) pada tahun 2006, masyarakat Indonesia lebih memilih nonton televisi (89,5 %) dan / atau mendengarkan radio (40,3 %) ketimbang membaca Koran (23,5%). Hal ini sungguh memprihatinkan.

Budaya membaca di Jepang terkenal di seantero dunia bahkan hingga detik ini kita bisa melihat cukup banyak orang Jepang yang membaca (entah komik/novel/koran /majalah) di dalam kereta api listrik yang sedang melaju dengan kencang.
Pemandangan membaca di dalam kereta api listrik (bahasa Jepang : densha) adalah pemandangan yang sudah membudaya. 

Membaca membaca merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Jepang.

Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.

Akhirnya Sejarah pun mencatat bahwa keunggulan manusia Jepang, yang ditandai lejitan ke peringkat-peringkat atas persaingan global, dicapai melalui kerja keras. Visi Jepang cerah juga melalui pelembagaan budaya baca.

Benar-benar mengagumkan bukan?
 
 
 

No comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar, terimakasih.